8. Infringement of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi
seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini
biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada
formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi, yang apabila
diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun
immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit
tersembunyi dan sebagainya.
Pengertian Privacy menurut para ahli Kemampuan
seseorang untuk mengatur informasi mengenai dirinya sendiri. [Craig van Slyke
dan France Bélanger] dan hak dari masing-masing individu untuk menentukan
sendiri kapan, bagaimana, dan untuk apa penggunaan informasi mengenai mereka
dalam hal berhubungan dengan individu lain.[Alan Westin]
Kerahasiaan pribadi (Bahasa Inggris:
privacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan
kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus
informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas
walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik.
Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Hak pelanggaran privasi oleh
pemerintah, perusahaan, atau individual menjadi bagian di dalam hukum di banyak
negara, dan kadang, konstitusi atau hukum privasi. Hampir semua negara memiliki
hukum yang, dengan berbagai cara, membatasi privasi, sebagai contoh, aturan
pajak umumnya mengharuskan pemberian informasi mengenai pendapatan. Pada
beberapa negara, privasi individu dapat bertentangan dengan aturan kebebasan
berbicara, dan beberapa aturan hukum mengharuskan pemaparan informasi publik
yang dapat dianggap pribadi di negara atau budaya lain.
Privasi dapat secara sukarela
dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan
sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian.
Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau
kompetisi; seseorang memberikan detail personalnya (sering untuk kepentingan
periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya
adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau
disalahgunakan seperti pada pencurian identitas.
Privasi sebagai terminologi tidaklah
berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Samuel D Warren dan Louis D
Brandeis menulis artikel berjudul "Right to Privacy" di Harvard Law
Review tahun 1890. Mereka seperti hal nya Thomas Cooley di tahun 1888
menggambarkan "Right to Privacy" sebagai "Right to be Let
Alone" atau secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai hak untuk tidak
di usik dalam kehidupan pribadinya. Hak atas Privasi dapat diterjemahkan
sebagai hak dari setiap orang untuk melindungi aspek-aspek pribadi kehidupannya
untuk dimasuki dan dipergunakan oleh orang lain (Donnald M Gillmor, 1990 :
281). Setiap orang yang merasa privasinya dilanggar memiliki hak untuk
mengajukan gugatan yang dikenal dengan istilah Privacy Tort. Sebagai acuan guna
mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran Privasi dapat digunakan catatan dari
William Prosser yang pada tahun 1960 memaparkan hasil penelitiannya terhadap
300 an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian yang dilakukan Proses atas
bentuk umum peristiwa yang sering dijadikan dasar gugatan Privasi yaitu dapat
kita jadikan petunjuk untuk memahami Privasi terkait dengan media.
Privasi merupakan tingkatan
interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau
situasi tertentu. tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan
atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain,
atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang
lain. adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk
mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan atau kemampuan
untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. privasi jangan dipandang
hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain
dalam rangka menyepi saja.
Teknologi internet ini melahirkan
berbagai macam dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif ini telah memunculkan
berbagai kejahatan maya (cyber crime) yang meresahkan masyarakat Internasional
pada umunya dan masyarakat Indonesia pada khususnya. Kejahatan tersebut perlu
mendapatkan tindakan yang tegas dengan dikeluarkan Undang-Undang terhadap
kejahatan mayantara yaitu dengan dikeluarkan UU no. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Ekonomi, yang merupakan usaha untuk memberikan
kepastian hukum tentang kerugian akibat cyber crime tersebut. Undang-Undang ini
akibat dari lemahnya penegakan hukum yang digunakan sebelumnya yang mengacu
pada KUHP dan peraturan perundingan lain seperti hak cipta, paten, monopoli,
merek, telekomunikasi dan perlindungan konsumen.
Kejahatan Mayantara ini bersifat transnasional, dan karena kasusnya sudah sedemekian seriusnya, sehingga selain hukum nasional juga dalam konvensi-konvensi internasional sehingga perlu kepastian hukum dalam mencegah dan menanggulanginya. Berbagai upaya digunakan dalam menindak pelaku cyber crime dengan Undang-Undang yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan teknologi informasi di Indonesia.
Kejahatan Mayantara ini bersifat transnasional, dan karena kasusnya sudah sedemekian seriusnya, sehingga selain hukum nasional juga dalam konvensi-konvensi internasional sehingga perlu kepastian hukum dalam mencegah dan menanggulanginya. Berbagai upaya digunakan dalam menindak pelaku cyber crime dengan Undang-Undang yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan teknologi informasi di Indonesia.
Faktor Penyebab Infringements of Privacy
Kesadaran hukum :
Masayarakat Indonesia sampai saat ini
dalam merespon aktivitas cyber crime masih dirasa kurang Hal ini disebabkan antara lain oleh
kurangnya pemahaman dan pengetahuan (lack of information) masyarakat terhadap jenis kejahatan cyber crime. Lack of information ini menyebabkan
upaya penanggulangan cyber crime mengalami kendala, yaitu kendala yang berkenaan dengan penataan
hukum dan proses pengawasan (controlling) masyarakat terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan cyber crime. Mengenai kendala yakni proses penaatan terhadap hukum, jika masyarakat di
Indonesia memiliki pemahaman yang benar akan tindak pidana cyber crime maka baik secara langsung maupun tidak
langsung masyarakat akan membentuk suatu pola penataan. Pola penataan ini dapat
berdasarkan karena ketakutan akan ancaman pidana yang dikenakan bila melakukan
perbuatan cyber crime atau pola penaatan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai
masyarakat hukum. Melalui pemahaman yang komprehensif
mengenai cyber crime, menimbulkan peran masyarakat dalam
upaya pengawasan, ketika masyarakat mengalami lack of information, peran mereka akan menjadi mandul.
Faktor Penegak Hukum :
Masih sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami
seluk beluk teknologi informasi (internet), sehingga pada saat pelaku tindak
pidana ditangkap, aparat penegak hukum mengalami, kesulitan untuk menemukan
alat bukti yang dapat dipakai menjerat pelaku, terlebih apabila kejahatan yang
dilakukan memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit. Aparat penegak hukum
di daerah pun belum siap dalam mengantisipasi maraknya kejahatan ini karena masih
banyak institusi kepolisian di daerah baik Polres maupun Polsek, belum
dilengkapi dengan jaringan internet. Perlu diketahui, dengan teknologi yang
sedemikian canggih, memungkinkan kejahatan dilakukan disatu daerah.
Faktor
Ketiadaan Undang-undang :
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan
hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama, artinya pada keadaan-keadaan
tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh
perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat.Sampai saat ini pemerintah
Indonesia belum memiliki perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang
cyber crime belum juga terwujud. Cyber crime memang sulit untuk dinyatakan atau
dikategorikan sebagai tindak pidana karena terbentur oleh asas legalitas. Untuk
melakukan upaya penegakan hukum terhadap pelaku cyber crime, asas ini cenderung
membatasi penegak hukum di Indonesia untuk melakukan penyelidikan ataupun
penyidikan guna mengungkap perbuatan tersebut karena suatu aturan undang-undang
yang mengatur cyber crime belum tersedia. Asas legalitas ini tidak
memperbolehkan adanya suatu analogi untuk menentukan perbuatan pidana. Meskipun
penerapan asas legalitas ini tidak boleh disimpangi, tetapi pada prakteknya
asas ini tidak diterapkan secara tegas atau diperkenankan untuk terdapat pengecualian.
Landasan
Hukum Infringement Of Prifacy
Undang – Undang ITE ( Informasi dan Transaksi
Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 Presiden Republik Indonesia Menimbang :
1. Bahwa pembangunan nasional adalah
salah satu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap
berbagai dinamika di masyarakat.
2. Bahwa
globalisasi informasi telah menempatkan indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional seentuk
hingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara
optimal,merata,dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan
kehidupan bangsa.
3. Bahwa perkembangan dan kemajuan
teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi
lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
4. Bahwa
penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus terus dikembangkan untuk
menjaga,memelihara,dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan
peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional.
5. Bahwa
pemanfaaatn teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
6. Bahwa
pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturanya sehingga pemanfaatan teknologi informasi
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat indonesia.
7. Bahwa
berdasrkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf b,huruf
c,huruf d,huruf e,dan huruf f,perlu membentuk undang-undang tentang informasi
dan transaksi elektronik.
Dan akhirnya Presiden republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat telah
memutuskan menetapkan ,Undang-undang tentang informasi transaksi elektronik:
· Bab I,
tentang Ketentuan Umum
· Bab II,
tentang Asas dan Tujuan
· Bab III,
tentang informasi,dokumen,dan tanda tangan elektronik
· Bab IV,
tentang penyelenggaran dan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik
· Bab V, tentang transaksi elektronik
· Bab VI,
tentang domain hak kekayaan intelektual,dan perlindungan hak pribadi
· Bab VII,
tentang perbuatan yang dilarang
· Bab VIII, tentang penyelesain sengketa
· Bab IX,
tentang peran pemerintah dan masyarakat
· Bab X,
tentang penyidikan
· Bab XI,
tentang ketentuan pidana
· Bab XII,
tentang ketentuan peralihan
· Bab XIII,
tentang ketentuan penutup
Atau UU ITE
pasl 27 ayat 3.
Bunyi Pasal 27 ayat 3 adalah sebagai berikut :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik. Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah :Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Seperti halnya porno dan tidak porno, maka merasa terhina atau tidak
terhina juga berada dalam domain yang sama yaitu subjektifitas. Tiap orang
tentunya akan berbeda-beda merasakannya. Tergantung apakah orang tersebut
pendendam atau pemaaf, dan penerima kritik atau antikritik. Pasal penghinaan
atau pencemaran nama baik bisa dikatakan pasal karet, pasal yang dapat
ditarik-tarik seenaknya. Orang hukum mungkin mengatakannya sebagai hal yang
tidak memiliki kepastian hukum. Belum lagi pasal ini ternyata juga sudah
dibahas dalam undang-undang yang lain yaitu KUHP Pasal 311. Saling tindih suatu
aturan yang sama membuat UU menjadi tidak efisien. Semoga saja ini bukan karena
para pembuatnya memiliki OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Lalu masalah
hukuman yang begitu berat yaitu 1 milyar rupiah. Apa dasarnya? Mungkin bagi
orang kaya, 1 M itu bisa dibayar. Tapi buat 15,42 % (Data BPS, Maret 2008)
orang miskin di Indonesia, belum lagi ditambah orang tingkat ekonomi menengah
kebawah.Uang 1 milyar itu sangatlah tidak terjangkau. Apa mungkin pesan
implisit dari Pasal 27 ayat 3 UU-ITE ini adalah orang miskin dilarang menghina
dan mengkritik di internet? Baiklah, Saya masih miskin saat ini. Saya tidak
punya uang 1 milyar untuk menebus harga diri seseorang/sesuatu yang merasa
dicemarkan dalam tulisan-tulisan saya. Saya juga tidak cukup punya waktu untuk
kehilangan 6 tahun dipenjara karena unfinished tasks saya sudah sangat banyak.
Namun apa mau dikata, UU-ITE telah ditetapkan bahkan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi menolak pengujian pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sekali lagi orang miskin
(yang tak punya 1 milyar) mungkin tinggal menunggu belas kasihan sistem
keadilan yang berpihak pada para penguasa uang.
Sedangkan di Negara lain misalkan di Amerika Serikat yaitu RUU SOPA dan
PIPA. SOPA adalah singkatan Stop Online Piracy Act. Yaitu rancangan
undang-undang penghentian pembajakan online. RUU ini diusulkan pertamakali oleh
Kongres ke Gedung Parlemen pada 26 Oktober 2011. Dengan UU SOPA, penegak hukum
di AS dapat lebih leluasa bertindak kegiatan online yang dianggap illegal.
PIPA adalah singkatan dari Protect Intellectual Property Act atau RUU
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. RUU PIPA bertama kali diusulkan pada 12
Mei 2011 oleh Senator Patrick Leahy. RUU tersebut berisi definisi tentang
pelanggaran yang disebabkan oleh pendistribusian salinan palsu atauillegal
copies dan barang palsu.
RUU ini bertujuan untuk :
a. Melindungi kekayaan intelektual dari
pencipta konten
b. Perlindungan terhadap obat-obatan
palsu
c. Setelah RUU SOPA dan PIPA muncul
juga RUU CISPA.
d. CISPA adalah singkatan dari Cyber
Intelligence Sharing and Protection Act.Adapun Kutipan dari CISPA atau Sharing Intelijen Cyber dan Undang-Undang Perlindungan:
"Menyimpang dari ketentuan hukum lain, sebuah
entitas mandiri yang dilindungi mungkin, untuk tujuan cybersecurity - (i)
menggunakan sistem cybersecurity untuk mengidentifikasi dan memperoleh
informasi cyberthreat untuk melindungi hak-hak dan milik diri seperti
dilindungi entitas, dan (ii) saham cyberthreat seperti informasi dengan entitas
lain, termasuk Pemerintah Federal .
Contoh Kasus
Mengirim dan mendistribusikan dokumen yang bersifat
pornografi, menghina, mencemarkan nama baik, dll. Contohnya pernah terjadi pada
Prita Mulyasari yang menurut pihak tertentu telah mencemarkan nama baik karena
surat elektronik yang dibuat olehnya.
- Melakukan penyadapan informasi. Seperti halnya menyadap transmisi data orang lain.
- Melakukan penggadaan tanpa ijin pihak yang berwenang. Bisa juga disebut dengan hijacking. Hijackingmerupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang lain. Contoh yang sering terjadi yaitu pembajakan perangkat lunak (Software Piracy).
- Melakukan pembobolan secara sengaja ke dalam sistem komputer. Hal ini juga dikenal dengan istilah Unauthorized Access. Atau bisa juga diartikan sebagai kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Jelas itu sangat melanggar privasi pihak yang berkepentingan (pemilik sistem jaringan komputer). Contoh kejahatan ini adalah probing dan port.
- Memanipulasi, mengubah atau menghilangkan informasi yang sebenarnya. Misalnya data forgery atau kejahatan yang dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web database. Contoh lainnya adalah Cyber Espionage, Sabotage, dan Extortion. Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain dengan memasuki sistem jaringan komputernya. Sabotage dan Extortion merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
- Google telah didenda 22.5 juta dolar Amerika karena melanggar privacy jutaan orang yang menggunakan web browser milik Apple, Safari. Denda atas Google kecil saja dibandingkan dengan pendapatannya di kwartal kedua. (Credit: Reuters) Denda itu, yang diumumkan oleh Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC), adalah yang terbesar yang pernah dikenakan atas sebuah perusahaan yang melanggar persetujuan sebelumnya dengan komisi tersebut. Oktober lalu Google menandatangani sebuah persetujuan yang mencakup janji untuk tidak menyesatkan konsumen tentang praktik-praktik privacy. Tapi Google dituduh menggunakan cookies untuk secara rahasia melacak kebiasaan dari jutaan orang yang menggunakan Safari internet browser milik Apple di iPhone dan iPads. Google mengatakan, pelacakan itu tidak disengaja dan Google tidak mengambil informasi pribadi seperti nama, alamat atau data kartu kredit.
Google sudah setuju untuk membayar denda tadi, yang merupakan penalti terbesar yang pernah dijatuhkan atas sebuah perusahaan yang melanggar instruksi FTC.
Contoh kasus diatas sangat mungkin untuk terjadi pula di pertelevisian
Indonesia. Momentum pelanggaran Privasi dapat berlangsung pada proses peliputan
berita dan dapat pula terjadi pada penyebarluasan (broadcasting) nya.Dalam
proses peliputan, seorang objek berita dapat saja merasakan derita akibat
tindakan reporter yang secara berlebihan mengganggu wilayah pribadi nya.
Kegigihan seorang reporter mengejar berita bisa mengakibatkan terlewatinya
batas-batas kebebasan gerak dan kenyamanan pribadi yang sepatutnya tidak di usik.
Hak atas kebebasan bergerak dan melindungi kehidupan pribadi sebenarnya telah
disadari oleh banyak selebritis Indonesia. Beberapa cuplikan infotainment
menggambarkan pernyataan-pernyataan cerdas dari beberapa selebriti kita tentang
haknya untuk melindungi kehidupan pribadinya. Dalam menentukan batas-batas
Privasi dimaksud memang tidak terdapat garis hukum yang tegas sehingga masih
bergantung pada subjektifitas pihak-pihak yang terlibat. Dalam proses
penyebarluasan (penyiaran), pelanggaran Privasi dalam bentuk fakta memalukan
(embarrassing fact) anggapan keliru (false light) lebih besar kemungkinannya
untuk terjadi. Terlanggar atau tidaknya Privasi tentunya bergantung pada
perasaan subjektif si objek berita. Subjektifitas inilah mungkin yang mendasari
terjadinya perbedaan sikap antara PARFI dan PARSI yang diungkap diatas dimana
disatu pihak merasa prihatin dan dipihak lain merasa berterimakasih atas
pemberitaan-pemberitaan infotainment. sebagai contoh :
- Pelanggaran terhadap privasi Tora sudiro, hal ini terjadi Karena wartawan mendatangi rumahnya tanpa izin dari Tora.
- Pelanggaran terhadap privasi Aburizal bakrie, hal ini terjadi karena publikasi yang mengelirukan pandangan orang banyak terhadap dirinya.
- Pelanggaran terhadap privasi Andy Soraya dan bunga citra lestari, hal ini terjadi karena penyebaran foto mereka dalam tampilan vulgar kepada publik.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon